Teladan Keteguhan Jiwa Sang Sufi
Setiap
11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir
Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi
kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan
istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang
seharusnya diteladani.
Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555
Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja menyelesaikan wudhunya. Dengan
terompah yang masih basah, ia berjalan menuju sajadahnya yang telah
terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat,
sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim menunggu, tak jauh dari
tempat sang mursyid shalat.
Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi. Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa.
Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi. Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa.
Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang guru untuk menyampaikan nadzar.
Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh Abdul Qadir.
“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri thariqah itu terheran-heran.
Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab. Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian barang dagangan mereka.
Namun tiba-tiba mereka berhenti, karena di depan mereka mulut jurang menganga lebar. Sementara gerombolan perampok semakin mendekat. Sambil bersorak sorai mereka mengejar anggota kafilah yang membawa lari sisa-sisa barang dagangan. Apa boleh buat, anggota kafilah itu pun pasrah. Di tengah ketakutan yang mencekam, pemimpin kafilah itu berdoa, “Ya Allah, dengan berkah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, selamatkanlah kami. Jika selamat, kami bernadzar akan memberikan hadiah kepada beliau.”
Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.”
Para anggota kafilah terheran-heran dan saling berpandangan. Dengan takut-takut mereka mengikuti si perampok. Sampai di tempat mereka semula meninggalkan barang dagangan, mereka menyaksikan pemandangan yang lebih aneh lagi. Dua orang tetua perampok tewas dengan kepala luka parah. Di sebelah masing-masing tergeletak sebuah terompah yang masih basah, sementara sebagian besar anggota perampok terduduk lemas dengan wajah ketakutan.
Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika. “Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya.
Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian, sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”
Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan, dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya, tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa.
Kematian dalam Mimpi
Kedekatan Syaikh Abdul Qadir dengan Allah SWT dan ketinggian maqamnya sudah tampak sejak belia. Suatu hari, Abul Muzhaffar Hasan bin Tamimi, seorang saudagar, ketika hendak melakukan perjalanan niaga, seperti lazimnya tradisi saat itu, menghadap Syaikh Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, ulama sepuh yang waskita, untuk mohon doa restu. Namun, tak seperti yang diharapkan, Syaikh Hammad malah mengatakan, rombongan kafilahnya akan dirampok dan ia akan mati dibunuh. Maka Abul Muzhaffar pun pulang dengan cemas dan hati berdebar-debar.
Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru
berusia 17 tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir
menyapa dan menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar
menceritakan ramalan Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir
berkata, “Pergilah, Tuan akan selamat dan mendapat untung besar.”
Ternyata benar. Abul Muzhaffar mendapat untung besar.
Dalam perjalanan pulang, ketika ia buang air besar di WC umum,
dompetnya yang berisi hasil perniagaan ketinggalan. Malamnya, ia
tertidur pulas di penginapan karena kelelahan, dan bermimpi dirampok
sekelompok orang Badui. Dalam mimpinya, salah seorang perampok
menghunjamkan pisau ke dadanya. Abul Muzhaffar terkejut dan terbangun.
Anehnya, ia merasakan nyeri di dada meski tak ada luka sama sekali.
Seketika ia teringat dompet yang ketinggalan di WC umum. Ia pun lari,
kembali WC umum. Ternyata dompet itu masih ada, lengkap dengan isinya.
Ia pun segera pulang. Sampai di Baghdad ia berniat menemui Syaikh
Hammad dan Syaikh Abdul Qadir. Ia berpikir keras, sowan ke Syaikh Hammad
yang lebih tua dulu, ataukah menemui Abdul Qadir, yang meski masih
belia ucapannya benar. Tiba-tiba ia berpapasan dengan Syaikh Hammad,
yang langsung menyuruhnya menemui Abdul Qadir. “Pemuda itu adalah
waliyullah yang benar-benar dicintai Allah. Ia telah mendoakan
keselamatanmu sebanyak 17 kali, sehingga takdir kematianmu hanya kamu
rasakan dalam mimpi, sedangkan takdir kefakiranmu hanya berupa lupa
meletakkan dompet,” tuturnya.
Dengan bergegas Abul Muzhaffar menemui sang waliyullah. Begitu
berjumpa, belum sempat ia membuka mulut, Syaikh Abdul Qadir sudah
mendahului berkata, “Ia memang benar. Aku memang telah mendoakanmu 17
kali, kemudian berdoa lagi sampai 70 kali, sehingga terjadilah seperti
yang diungkapkan oleh Syaikh Hammad itu.” Ajaib, Syaikh Abdul Qadir tahu
belaka apa yang diucapkan oleh Syaikh Hammad.
Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini.
Bahkan, dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi
Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus
yang mengisahkan berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh
banyak orang.
Karamah-karamah Syaikh Abdul Qadir memang melegenda, hingga tak
jarang masyarakat awam menyebut-nyebut namanya sebagai upaya mendapatkan
keluarbiasaan atau kesaktian. Beberapa perguruan bela diri tenaga dalam
yang “Islami”, misalnya, menjadikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul
Qadir sebagai ritus untuk meyempurnakan ilmu kesaktian, dan sebagainya.
Sayang sekali jika untuk menghormati atau meneladani perikehidupan
sang waliyullah, selama ini (sebagian) kaum muslimin hanya mengingat
atau mengagumi keajaiban karamah-karamahnya. Padahal, yang paling afdhal
ialah mempelajari manaqib alias biografi Syaikh Abdul Qadir, yang sarat
dengan perilaku keshalihan dan kegigihan dalam belajar serta beribadah,
yang membuatnya layak diangkat sebagai wali quthb alias penghulu para
wali. Dalam manaqib, misalnya, dikisahkan betapa dengan keluhuran budi
dan semangat baja untuk mencapai kebenaran sejati, Syaikh Abdul Qadir
melakukan riyadhah bathiniyyah, tirakat yang sangat berat.
Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai
warisan dari leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke
Baghdad. Ketika itu ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan
ayahandanya. Supaya aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu
dijahitkan dalam jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu
bersikap benar dan jujur, tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan
ibundanya itu senantiasa ia pegang teguh.
Dalam perjalanan ia dihadang sekelompok perampok.
Salah seorang perampok bertanya, apakah ia memiliki barang berharga.
Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia memiliki 40 keping uang emas.
Anehnya, perampok itu malah tidak percaya, dan berlalu pergi.
Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain.
Kali itu mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis
semua harta milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul
Qadir.
Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak
apakah dia punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia
punya 40 keping emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal
dari ibundanya itu. Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah
terkejut dan heran, mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa pun,” kata Abdul Qadir.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa pun,” kata Abdul Qadir.
Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi,
sekarang ibumu kan tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau
berbohong.”
“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar
itu disaksikan Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan alpa dalam
mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul Qadir dengan tenang.
Ajaib. Kontan si pemimpin perampok langsung lemas, kemudian bersimpuh
di hadapan Abdul Qadir, yang masih muda itu. “Engkau telah menjaga
janji kepada ibumu, sedangkan kami melupakan janji kami kepada Sang
Pencipta,” ujarnya, yang kemudian bertobat.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Suci Sepanjang Malam
Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu, sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.
Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu, sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.
Selama mengembara, ia hanya makan buah-buahan segar dari pepohonan,
rerumputan muda di tepi sungai, dan sisa sayur-mayur yang sudah dibuang.
Minum pun hanya secukupnya. Sementara waktu tidurnya begitu singkat,
sehingga nyaris selalu terjaga. Di kemudian hari, kesederhanaan itu
tetap dipertahankannya: mengenakan jubah thoilusan, yang menutup sampai
kepala, dan selalu mengendarai bighal alias keledai ke mana pun ia pergi
Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara
total dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan
minum yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian
mendapat penjagaan dari Allah SWT.
Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama
beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang
dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa
hari, Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa
kerat roti sebagai pengganjal perut.
Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk
ke mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan
peringatan yang sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk
hamba-Ku yang lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan
kepada-Ku. Sedangkan hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai
syahwat apa pun.
Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan halal tersebut.
Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk
membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil
maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin
Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun,
bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan
wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir
hampir-hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.
Kisah lain yang mengungkapkan upaya penjagaan kesucian jasmani dan
ruhaninya termaktub dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil
Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin
Abdulkarim Al-Barzanji.
Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul
Qadir tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan
istana Kisra, Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat
sehingga tertidur. Tak lama kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya
mimpi basah. Tak ingin berlama-lama menanggung hadats, ia pun segera
bangkit dan mandi besar di salah satu anak sungai yang mengalir tak jauh
dari situ.
Usai bersuci ia meneruskan dzikirnya sambil bersandar di tiang yang
sama. Ternyata ia tertidur kembali dan mimpi basah lagi. Tanpa
menghiraukan dinginnya cuaca dan derasnya angin gurun pasir di malam
hari, ia mandi junub lagi di sungai, lalu kembali berdzikir.
Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali
mandi junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam
semalam hingga waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.
Dalam
beberapa buku manaqib Syaikh Abdul Qadir, pengalaman spiritual
menyangkut mimpi basah sampai 40 kali dalam semalam itu terlalu
ditonjolkan. Padahal, makna terpenting dari kejadian itu ialah sikap
keistiqamahan sang wali yang tetap mandi junub walaupun dalam keadaan
cuaca sangat dingin, sementara mimpi basah itu hanyalah sebagai sarana
bagi Allah SWT untuk menguji kekasih-Nya. Adapun angka 40 kali merupakan
simbol sangat seringnya suatu kejadian.
Keseriusannya
menunaikan syari’at dan mengamalkan tasawuf, akhirnya mempertemukannya
dengan Nabi Khidhir AS. Uniknya, meskipun bersahabat selama tiga tahun,
mereka tidak pernah saling mengenal. Dalam persahabatan ini pun
keteguhan hati Syaikh Abdul Qadir kembali diuji.
Agar
persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang
wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama
tiga tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka
sepakati, kecuali untuk bersuci.
Berbagai godaan menghampirinya, namun ia tetap bertahan. Nabi Khidhir AS hanya menjenguk setahun sekali, itu pun hanya sejenak.
Masih banyak kisah yang menceritakan kesungguhan mujahadah Syaikh
Abdul Qadir Al-Jilani dalam membersihkan qalbu dan jiwanya. Perjuangan
berat disertai sikap istiqamahnya mengantarkannya menjadi penghulu para
awliya dan kaum sufi sepanjang masa.
Janji, Wasiat dan Ajaran Sang Wali
Sebagai
pewaris Nabi, para waliyullah mendapat hak istimewa memberikan syafa’at
bagi murid dan pecintanya. Namun, persyaratannya tak mudah: meneladani
sang wali dan mengikuti ajarannya yang bersumber dari Al-Quran dan
sunnah.
.
Dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jailani,
karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji, termaktub
sebuah janji sang wali, “Tidak seorang muslim pun yang melewati pintu
madrasahku kecuali Allah akan meringankan bebannya di hari kiamat. Aku
pasti akan menolong siapa pun yang tersesat jalan, baik ia
sahabat-sahabatku, murid-muridku, maupun pecintaku. Kudaku selalu
terkekang, panahku selalu terbentang, dan pedangku senantiasa terhunus
untuk menolong mereka. Aku pasti menjaga dan menolong, meskipun mereka
tak menyadarinya.” Kalimat indah itu diucapkan oleh penghulu para
kekasih Allah SWT, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, yang juga Sulthanul Awliya, “raja” para waliyullah.
.
Janji itu
memang syafa’at (pertolongan), yang oleh Rasulullah SAW, dengan izin
Allah SWT, juga didelegasikan kepada beberapa golongan istimewa, seperti
para awliya, guru mursyid, dan hufazhul Quran – para penghafal Al-Quran
yang istiqamah menjaga dan mengamalkan Al-Quran. Para penghafal
Al-Quran, misalnya, mempunyai hak memberi syafa’at kepada 10 orang
keluarganya. Nilai syafa’at itu tentu tak setinggi Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, syafa’at agung, sebagai hak istimewa Rasulullah SAW.
Banyak
keteladanan, nasihat, dan ajaran Syaikh Abdul Qadir yang perlu
dipelajari dan diamalkan jika seseorang ingin dianggap patut menyandang
status sebagai pecintanya, muridnya, atau sahabatnya. Yang paling awal
harus ditanamkan ialah perasaan husnuzhan, atau baik sangka, dan cinta
kepada sang guru. Ada beberapa murid yang sebelumnya tidak simpati,
bahkan cenderung membencinya, namun kemudian berbalik mencintainya dan
berguru kepadanya. Seorang di antaranya Syaikh Abduh Hamad bin Hammam.
“Pada mulanya
aku tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir. Walaupun aku seorang saudagar
yang paling kaya di Baghdad, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun
puas hati. Pada suatu hari, ketika menunaikan shalat Jumat, aku tidak
mempercayai karamah Syaikh Abdul Qadir. Sampai di masjid, aku dapati
beliau sudah di sana. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai,
kebetulan persis di depan mimbar. Ketika Syaikh Abdul Qadir mulai
berkhutbah, ada beberapa perkara yang menyinggung perasaanku.”
Syaikh Abduh
Hamad melanjutkan, “Tiba-tiba, aku ingin buang air besar, sementara
untuk keluar dari masjid tentu sangat sulit. Aku dihantui perasaan
gelisah dan malu, takut kalau-kalau aku buang air besar di dalam masjid.
Dan kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir pun memuncak. Tapi,
seketika itu beliau turun dari mimbar dan berdiri di depanku. Sambil
terus berkhutbah, beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku
merasa sedang berada di suatu lembah hijau yang sangat indah.”
Dalam jubah
sang waliyullah itu, Syaikh Abduh Hamad seperti berada di sebuah lembah
sunyi dengan anak sungai yang airnya mengalir tenang. Maka segeralah ia
menunaikan hajatnya, lalu mengambil air wudhu. Dan ketika ia berniat
menunaikan shalat, tiba-tiba sudah berada di tempat semula: di dalam
jubah Syaikh Abdul Qadir – yang segara mengangkat jubahnya lalu kembali
berkhutbah di mimbar. “Aku sangat terkejut. Bukan karena perutku sudah
lega, tapi juga perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan jahat
lainnya, semuanya hilang,” tambahnya.
Selepas
sembahyang Jumat, Syaikh Abduh Hamad pulang. Di jalan ia baru tahu kunci
rumahnya hilang. Ia pun lalu kembali ke masjid untuk mencarinya, tapi
ia tidak menemukannya sehingga terpaksa memesan kunci baru. Keesokan
harinya ia dan rombongan meninggalkan Baghdad untuk berniaga. Tiga hari
kemudian, ia melewati sebuah lembah yang indah dengan anak sungai yang
airnya jernih. Ia merasa seperti pernah buang hajat di sungai itu.
“Aku lalu mandi
di sungai. Setelah selesai dan mau mengambil jubah, aku menemukan
kembali kunci pintu rumahku, yang rupa-rupanya tertinggal dan tersangkut
pada sebatang dahan di sana. Setelah urusan dagangku selesai, aku
segera menemui Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di Baghdad dan menjadi
muridnya,” tuturnya.
Memang, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani adalah ulama kharismatis, bahkan seorang sufi besar yang kepribadiannya sangat dikagumi. Dalam kitab Rijalul Fikr wa Da’wah fil Islam, Sayyid Abu Hasan An-Nadwi mengungkapkan, “Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah sosok yang berkepribadian bersih, bersemangat, sangat kuat pengaruhnya. Dia seorang zahid, qana’ah, dan kuat menahan syahwat. Dia laksana mercusuar iman yang menerangi orang yang tersesat dalam kegelapan.”
Dalam
taushiyah-taushiyahnya yang sangat menyentuh qalbu, sang waliyullah
selalu mengingatkan agar setiap orang berpegang teguh pada ajaran
Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, setia menjalankan perintah Allah dan
Rasul, menjauhi larangan-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam
mengendalikan nafsu. Ditekankannya agar pada taraf yang lebih tinggi ia
bisa berserah diri sepenuh hati kepada kehendak-Nya. Menurutnya, ada
tiga hal yang mutlak harus dijiwai dan diamalkan oleh seorang mukmin
dalam segala keadaan. Pertama, menjaga perintah Allah; kedua, menghindar
dari segala yang haram; ketiga, ridha dengan takdir Allah.
Salah satu wasiatnya yang sangat terkenal ialah ujarannya sebagai berikut, “Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah. Patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyekutukan Allah. Selalu sucikanlah Allah, dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pertahankanlah kebenaran-Nya, jangan pernah ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqamahlah dengan berharap kepada-Nya. Bekerjasamalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, jangan saling mendendam.”
Bersatu dengan-Nya
Sementara
dalam ranah tasawuf ia senantiasa megingatkan, “Tabir penutup qalbumu
tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak
berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus;
selama engkau belum melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat;
selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah dan cahaya-Nya.
Jika engkau
mengatakan, jiwamu bersatu dengan Allah dan mencapai kedekatan
dengan-Nya lewat pertolongan-Nya, maka makna hakiki yang dimaksud ialah
berlepas diri dari makhluk dan kedirian, serta sesuai dengan
kehendak-Nya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendak-Nya. Inilah keadaan
fana dirimu, dan dalam keadaan itulah engkau bersatu dengan-Nya, bukan
bersatu dengan ciptaan-Nya. Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Tak ada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat. Allah tak terpadani oleh semua ciptaan-Nya’? Istilah
bersatu dengan-Nya hanya lazim dikenal oleh mereka yang mengalaminya.”
Syaikh Abdul
Qadir Al-Jilani memang mengajarkan penafian hasrat akan kebendaan
duniawiah. Sudah sejak awal ia mengkhawatirkan kecintaan manusia kepada
materi yang berakibat ketidakseimbangan ruhani. Sebab, menurutnya,
manusia yang sempurna ialah yang mempunyai keseimbangan materi dan
spiritual, yang satu sama lain saling menjaga dengan porsi yang sama,
porsi yang adil.
Ia memang tokoh
unik. Meski sebagian sufi sering dicitrakan lebih mementingkan haqiqat
daripada syari’at – karena perilakunya yang dianggap nyeleneh – ia
justru dengan tegas menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at sebagai
landasan berthariqah dalam rangka menggapai haqiqat dan ma’rifat.
.
Keseimbangan Tiga Pilar
Dalam salah satu kitab karyanya, Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqil Haqq, yang memuat panduan beragama, dengan jelas tergambar betapa sang syaikh sangat mementingkan keseimbangan di antara tiga pilar kehidupan beragama kaum muslimin, yaitu iman (aqidah), Islam (syari’at), dan ihsan (akhlaq, tasawuf). Oleh karena itu tidaklah benar jika ada orang yang mengaku sebagai pengikut dan pecinta Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tapi hanya mementingkan salah satu pilar.
Dalam salah satu kitab karyanya, Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqil Haqq, yang memuat panduan beragama, dengan jelas tergambar betapa sang syaikh sangat mementingkan keseimbangan di antara tiga pilar kehidupan beragama kaum muslimin, yaitu iman (aqidah), Islam (syari’at), dan ihsan (akhlaq, tasawuf). Oleh karena itu tidaklah benar jika ada orang yang mengaku sebagai pengikut dan pecinta Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tapi hanya mementingkan salah satu pilar.
Misalnya dalam masalah syafa’at Rasulullah SAW, Syaikh Abdul Qadir
menulis, “Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa Allah SWT akan menerima
syafa’at Rasulullah SAW bagi umatnya yang telah telanjur berbuat dosa,
baik dosa besar maupun kecil, yang karenanya mereka ditetapkan masuk
neraka, baik syafa’at yang berlaku umum bagi semua umat sebelum proses
hisab (perhitungan amal), maupun yang berlaku khusus bagi mereka yang
telah masuk neraka.”
.
Dengan
syafa’at tersebut seluruh orang beriman yang berada di neraka kelak akan
keluar, sehingga tidak ada seorang pun yang berada di dalamnya. Selagi
ada sebutir dzarrah (benda terkecil) keimanan dalam qalbu seseorang, dan
selama ia mengakui dengan tulus bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah
SWT, orang itu akan mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW,
sebagaimana sabda beliau, “Syafa’atku, insya Allah, akan didapatkan oleh
siapa saja dari umatku selama ia tidak mati dalam keadaan menyekutukan
Allah dengan sesuatu.” (HR Abu Hurairah).
Sebagaimana Rasulullah SAW mempunyai syafa’at, para nabi yang lain pun memilikinya, begitu pula orang-orang shiddiq (yang kepercayaannya akan kebenaran Rasul sangat teguh), serta orang-orang shalih – yang semuanya tentu dengan izin Allah SWT. Dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang layak menjadi salah seorang wasilah (perantara) dalam berdoa, karena ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Namun perlu diingat, ketinggian derajat sang Sulthanul Awliya itu di sisi Allah diperoleh berkat kedalaman ilmunya dalam bidang syari’at.
Cahaya yang Menyesatkan
Kisah penutup berikut ini menggambarkan keluasan ilmu Syaikh Abdul Qadir yang menuntunnya mampu melampaui semua godaan yang menghadang laku suluknya.
Ketika suatu malam Syaikh Abdul Qadir bermunajat di zawiyahnya, tiba-tiba muncul sesosok cahaya yang sangat terang benderang di depannya. Dengan suara yang agung, cahaya itu berkata, “Hai Abdul Qadir, aku adalah tuhanmu. Karena ketekunan ibadahmu, mulai saat ini aku halalkan bagimu semua perkara yang haram.”
Tanpa bergerak, tapi dengan ekspresi murka, Syaikh Abdul Qadir menghardik cahaya itu, “Enyahlah engkau, wahai mahkluk terkutuk!”
Seketika,
cahaya terkutuk itu padam meninggalkan kepulan asap tipis. Tiba-tiba
suara ghaib terdengar lagi, “Kau memang hebat, Abdul Qadir. Keluasan
pengetahuanmu mengenai syari’at dan hukum Allah telah menyelamatkanmu.
Padahal, sebelum engkau, aku telah berhasil menyesatkan 70 orang sufi
dengan cara yang sama seperti ini.”
Ketika
pengalaman spiritual itu diceritakan kepada murid-muridnya, salah
seorang di antara mereka bertanya, “Dari mana Tuan tahu cahaya itu
adalah iblis, bukan Allah?”
Dengan tenang
Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dari ucapannya, ‘Aku halalkan bagimu semua
perkara yang haram’. Aku tahu, tidak mungkin Allah SWT akan
memerintahkan sesuatu yang buruk dan keji.” Begitulah ketinggian ilmu
dan keteguhan iman seorang waliyullah.
http://salafytobat.wordpress.com/2008/07/02/kisah-syaikh-abdul-kadir-jailani-1/
http://salafytobat.wordpress.com/2008/07/02/kisah-syaikh-abdul-qadir-al-jilani-bagian-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar